TJOKROCORNER, RESENSI - Apa yang muncul di pikiran aktivis Islam ketika mendengar seruan, "Jangan takut, jangan khawatir!" Tentu yang melintas adalah firman Allah dalam Al Qur'an surah Yunus (10) ayat 62, dimana Allah memberi peneguhan bahwa mereka yang bersama-Nya, tidak dilanda takut dan kecemasan.
Berikut ini ayatnya:
اَ لَاۤ اِنَّ اَوْلِيَآءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
"Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati."
(QS. Yunus 10 : 62)
Tetapi bila diperjelas bahwa seruan "Jangan takut, jangan khawatir!" dilontarkan oleh seorang aktivis dan propagandis Partai Komunis Indonesia (PKI), organisasi yang punya catatan hitam dalam dinamikannya dengan gerakan Islam di Indonesia, kemungkinan sikap aktivis Islam akan berubah.
Padahal, ada pepatah Arab masyhur yang mengatakan "Undzur maa qoola walaa tandzur mang qoola", yang artinya "Lihatlah apa yang disampaikan, jangan lihat siapa yang menyampaikan". Bahkan pepatah ini kadang disandarkan kepada Ali bin Abi Thalib r.a., sahabat sekaligus menantu nabi yang mulia.
Aktivis PKI tersebut adalah Haji Mohammad Misbach, tokoh yang lalu menjadi obyek kajian Nor Hiqmah, seorang aktivis gerakan kiri di Indonesia era 1998. Bahkan pernah menjadi anggota Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD) periode 1998-1999.
Nor Hiqmah, perempuan berjilbab jebolan Fakultas Filsafat UGM ini menulis sebuah buku yang bertajuk Pertarungan Islam & Komunisme Melawan Kapitalisme dengan anak judul Teologi Pembebasan Kyai Kiri Haji Misbach.
Nama Haji Misbach mulai disandangnya sepulang dari menunaikan ibadah haji. Ia terlahir dengan nama Ahmad, di Kauman Surakarta pada tahun 1876. Sempat mengganti namanya menjadi Darmodiprono saat menikah sebelum akhirnya dikenal sebagai Haji Misbach (hal. 21).
Haji Misbach bukanlah nama asing di kalangan aktivis pergerakan kemerdekaan. Meski tak setenar Tjokroaminoto maupun Soekarno, tetapi namanya memiliki tempat tersendiri dalam peta pergerakan di eranya.
Ia yang tak membaca buku-buku Belanda dan tidak masuk dalam lingkaran pergaulan di kalangan Belanda ini, bergabung dengan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) besutan Mas Marco Kartosukromo pada tahun 1914.
Haji Misbach yang menguasai tulisan Arab dengan fasih, terlibat dalam Sarekat Islam, khususnya pada gerakan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM). Sempat mendirikan dan membiayai jalannya organisasi Sidik Amanah Tablig Vatonah (SATV), serta mendirikan sekolah Ze School Met Den Qur'an.
Tak puas, Haji Misbach bergabung ke Insulinde, di mana ia juga tetap mengusung keyakinan Islamnya. Kalimatnya yang terkenal adalah, "Propaganda Insulinde adalah propaganda Islam". Selain itu, ia juga masuk ke Muhammadiyah, meski kesemuanya kemudian dia tinggalkan (hal. 24)
Akhirnya, Haji Misbach menjatuhkan pilihannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai perahu perjuangannya. Menariknya, meski demikian, penentangannya terhadap kolonialisme dan kapitalisme selalu disandarkan pada keyakinan Islamnya.
Dalam propaganda-propaganda yang dilakukannya, Haji Misbach tidak pernah lupa mengutip ayat Al Qur'an.
Yang patut dicatat adalah alasan Haji Misbach melabuhkan harapan pada PKI. Menurutnya, karena organisasi-organisasi Islam pada umumnya, terutama Sarekat Islam dan Muhammadiyah tidak mampu memperjuangkan tegaknya keadilan yang menjadi aspirasi kaum jelata (hal. 24).
Lalu apakah Haji Misbach meninggalkan keislamannya ketika menjadi aktivis dan propagandis PKI? Rupanya tidak, dalam artikelnya yang berjudul Islam dan Komunisme yang tayang di Medan Moeslimin (1925), Haji Misbach menegaskan bahwa orang Islam yang tak setuju Komunisme, bukanlah orang Islam Sejati.
Haji Misbach menulis begini, "Orang jang mengakoe dirinja Islam tetapi tida setoejoe adanja Kommunisme, saja berani mengatakan bahoewa ia boekan Islam jang sedjati, ataoe beloem mengerti betoel tentang doedoeknya agama Islam."
Selain menyerang kaum islamis yang anti komunis, Haji Misbach juga menyoroti para komunis yang anti Islam.
Katanya, "Begitoe djoega sekalian kawan kita jang mengakoe dirinja sebagai seorang Kommunist, akan tetapi mereka masih soeka mengeloewarkan fikiran jang bermaksoed akan melinjapkan agama Islam, itoelah saja berani mengatakan bahoewa mereka boekannja Kommunist jang sedjati ataoe mereka beloem mengerti doedoeknja Kommunist."
Bagi Haji Misbach, titik temu antara Islam dan Komunisme adalah keberpihakannya pada kaum tertindas (mustadh'afin) dan tujuannya untuk mewujudkan keselamatan dan kebebasan (hal. 83). Ia menegaskan bahwa umat manusia tertindas oleh kapitalisme, sehingga haram ada di dunia dan tugas umat Islam untuk menghapusnya (hal. 49).
Dalam bukunya, Nor Hiqmah juga mengulas posisi Haji Misbach dalam perselisihan paham antara Semaoen dan Tjokroaminoto perihal kapitalisme, serta penegakan disiplin partai yang menyebabkan tersingkirnya Semaoen dan sekondannya dari Sarekat Islam.
Bahkan, terkait disiplin partai, Haji Misbach mengkritik keras terbelahnya Sarekat Islam dalam tulisannya di harian Medan Moeslimin dengan judul, "Semprong Wasiat: Partij Discipline S.I. Tjokroaminoto Menjadi Ratjoen Pergerakan Ra'jat Hindia."
Pikiran-pikiran Haji Misbach menarik ditelisik oleh aktivis muda Islam yang bergelut dan peduli dengan gerakan pembelaan kaum mustadh'afin yang berakar pada teologi pembebasan, atau dalam bahasa Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme.
Tulisan ini merupakan resensi yang dibuat oleh Muhammad Kasman, Ketua PW Syarikat Islam Indonesia Prov. Sulsel Periode 2023-2027, atas buku yang berjudul Pertarungan Islam & Komunisme Melawan Kapitalisme: Teologi Pembebasan Kyai Kiri Haji Misbach | Penulis: Nor Hiqmah | Penerbit: Madani | Cetakan 1: Desember 2011 | Jumlah Halaman: 106 | ISBN: 978-602-95805-6-3
+ Comments + 2 Comments
Sungguh ulasan yang menarik dan menantang. Islam dan Komunisme adalah satu perpaduan... Betulkah?
Sebagai sebuah petualangan intelektual, layak dipertimbangkan, ustaz... Ayolah menulis di Tjokroisme...
Posting Komentar