TJOKROCORNER, OPINI - Telah berbilang tahun, Syarikat Islam Indonesia (SII) sungguh tak lagi menjadi perhatian publik di republik ini. Saat menyebut representasi ormas Islam, hanya segelintir pihak yang masih mengingatnya. Kini, rakyat dari segala lapisan tak lagi hirau dengan segenap langkah organisasi yang pernah menjadi mercusuar dalam gerakan perlawanan menentang penjajahan kolonial Belanda pada abad keduapuluh.
Kejayaan masa silam itu telah takluk bertekuk lutut di depan mahkamah sejarah. Organisasi besutan H. Samanhudi yang lalu diasuh dan dibesarkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan melahirkan Soekarno, Musso, Semaoen, Kartosoewirjo, serta pemimpin besar lain di masanya, kini hanya diasupi oleh segelintir generasi bangsa yang masih betah puas hanya dengan kenangan kejayaan masa lalu.
Tak ada lagi kita saksikan kalangan kelas pekerja yang tertindas, petani yang terampas lahannya, nelayan yang dipagar lautnya, dan kaum mustadh'afien lainnya, serta kaum muda terpelajar nan progresif, yang menyandarkan harapannya pada SII. Mereka tak lagi melihat adanya keuletan dan kegigihan kader-kader SII dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan sejati, politik demokratis berbasis syura, serta ekonomi bersendi kerakyatan dan gotong royong.
Di saat tingkat penghidupan rakyat Indonesia semakin merosot, PHK terhadap kaum pekerja kian merajalela, pendidikan berbiaya tinggi, pemimpin yang senang ingkar janji dan doyan korupsi, SII tak berdaya untuk sekadar hadir menunjukkan jalan yang lempang bagi pergerakan rakyat. Apalagi dituntut untuk mempengaruhi haluan politik pemerintah demi kesejahteraan bersama.
Baca juga: Transformasi Serikat Sarjana Muslimin Indonesia (SESMI) Menjadi Organisasi Pembelajar
Memang kita harus tetap mengakui bahwa kemampuan SII bertahan hingga usia ke-119 membuktikan adanya dasar yang kukuh dan keuletan yang tak tepermanai dari pegiatanya. Tapi tentu saja, itu tak cukup. Perubahan sosial besar membutuhkan kepemimpinan yang dijalankan dengan berdasar pada teori perubahan yang tepat dan sokongan rakyat yang banyak nan terorganisir, dalam hal ini kader. SII, sadar atau tidak, diakui atau tidak, tak lagi memiliki perangkat perubahan itu.
Kerepotan utama bagi SII hari ini adalah karena pertama, ia hanya dirawat oleh kader-kader yang digerakkan bukan oleh ideologi yang hidup dan menyala-nyala di jantung gerakan, melainkan oleh romantisme kejayaan masa lalu. Kecenderungan seperti ini, rentan menjebak kader dan organisasi dalam patologi psikologis, minority complex.
Complex ini menyusun lapis kesadaran bahwa meski organisasi kita kecil, dengan kader yang minim, struktur organisasi yang hanya ada di beberapa daerah, suara dan/atau sikap organisasi kita tak diacuhkan, tetapi sesungguhnya kita punya sejarah yang besar, kebenaran, serta kejayaan. Kita lalu menenangkan diri dengan keyakinan semu bahwa orang lain tidak mengetahui kehebatan kita, bahkan menghalangi kita untuk bangkit.
Patologi psikologis semacam ini menyeret SII dalam rasa puas diri, karena kader penerus selalu tetap ada dengan mengandalkan sistem kekerabatan, tanpa harus ditopang sistem kaderisasi yang mumpuni. Alih generasi organisasi berlangsung ke kader biologis, dan bukan kader ideologis. Sehingga organisasi merasa nyaman bermain di ruang sempit sebagai minoritas dengan aroma feodal.
Kerepotan kedua adalah cara berpikir sektarian atau kekelompokan. Sebetulnya ini adalah turunan dari kerepotan pertama. Karena komunikasi, pergaulan, dan interaksi intenal kader terbatas pada lingkaran kecil yang mengidap minority complex, maka mereka cenderung tertutup dengan pikiran-pikiran dan bahkan kebenaran-kebenaran dari luar. Kaum agamawan menyebutnya ashabiyyah.
Baca juga: Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI), Organisasi Sayap Yang Terabaikan
Hal ini menyebabkan SII sebagai organisasi dan juga kader-kadernya, kesulitan untuk berpikir dalam perspektif keummatan dan kemanusiaan, mereka hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Pernahkah kita melihat SII cepat tanggap dalam merespon perubahan sosial politik di negeri ini? Tidak. SII asyik dengan diri sendiri, dengan problemnya sendiri, dengan kebenaran-kebenarannya sendiri.
Meski dalam dokumen organisasinya, SII menegaskan bahwa hadirnya untuk Islam dan Indonesia, tapi dalam kenyataannya SII baru bisa hadir untuk dirinya sendiri, itupun secara terbatas. Seruan dan maklumatnya hanya nyaring di telinga segelintir kader, pengajian-pengajian hanya dipenuhi kader sendiri, dan belum berhasil menarik minat umat, sebagaimana vergadering SII zaman dulu
Untuk menghadapi kerepotan yang melanda gerakan SII tersebut, layak dipertimbangkan untuk berani melakukan upaya dekolonisasi pikiran. Adalah Laura Lapinske, dosen Vytautas Magnus University, Lithuania saat memberi kuliah tamu dengan tajuk “Introduction to Decolonization” pada tahun 2023 di Universitas Airlangga mengenalkan bahwa dekolonisasi merupakan cara berpikir yang berbeda dari pemikiran mainstream, kita melihat sesuatu dengan sudut pandang lain dari apa yang lazim.
Meminjam analisis Laura, kedua kerepotan SII yang disebutkan di atas, adalah buah dari bangunan kesadaran terjajah (colonial mind) yang mengendap dalam psikologi organisasi SII karena menghadapi penjajah sejak organisasi ini pertama kali didirikan. Model mental ini tak sepenuhnya hilang seiring terwujudnya kemerdekaan nasional. Malah, mendorong fenomena kolonisasi mandiri (self colonization), membiarkan diri terbuai bahkan 'terpenjara' dalam kesadaran terjajah itu.
Mungkin tak tersadari, tetapi argumentasi yang sering digaungkan di internal organisasi bahwa SII ini hebat tetapi tidak bisa berkembang, karena selalu diawasi dan diwaspadai, bahkan tak diberi ruang dan jejaring kekuatannya sengaja dilucuti oleh rezim yang berkuasa, tanpa berusaha menelusuri secara cermat penyebab-penyebab kemunduran organisasi secara internal, adalah contoh nyata kesadaran terjajah itu. Lalu mengulang-ulang argumentasi yang sama, adalah model kolonisasi mandiri yang berlangsung.
Lalu, bagimana praktik dekolonisasi itu dijalankan? Laura menggariskan beberapa prinsip penerapan dekolonisasi ini, yakni:
a. learning to unlearn (belajar untuk melihat sesuatu dari cara yang tidak mainstream)
b. embracing multiplicity (cara pandang yang tidak mainstream secara kolektif dapat menyingkirkan pandangan mainstream)
c. no need for permission (tidak perlu izin untuk menyampaikan gagasan tidak mainstream).
d. going beyond dichotomy (buatlah pusat-pusat pemikiran yang terbebas dari paradigma mainstream)
e. decolonial knowledge production (membuat, menciptakan pemikiran baru, serta cara-cara lainnya)
Dalam konteks SII hari ini, setidaknya, gagasan dekolonisasi pikiran ditujukan untuk meng-upgrade tingkat kesadaran sosial-politik kader dan organisasi melalui 3 (tiga) langkah.
Pertama, SII harus berani memberi ruang bagi kader-kadernya untuk mengeksplorasi warisan pemikiran kader dan pegiat awal organisasi, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdul Muis, bahkan juga Kartosuwirjo, Musso, dan Semaoen. Tentu saja, eksplorasi pemikiran itu dilakukan secara riang gembira dan multi perspektif.
Baca juga: Akankah PSII Kembali Berkiprah Di Kancah Politik Indonesia?
Adalah hal penting bagi SII untuk senantiasa memperbaharui kesadaran akan alasan mendasar ditubuhkannya organisasi ini, yang lalu terumuskan dalam tujuan organisasi, serta dijabarkan dalam Program Asas dan Program Tandhim. Tentu ini hanya bisa dilakukan bila SII dan kader-kader tidak berpuas diri dengan kejayaan masa lalu atau terjebak pada romantisme sejarah. Termasuk terbukanya ruang tafsir baru atas Program Asas dan Program Tandhim organisasi.
Kedua, SII membuka diri dan berperan aktif dalam penerimaan dan pengintegrasian keragaman pemikiran kader dari seluruh wilayah ke dalam narasi nasional organisasi. Kehidupan organisasi harus didorong menjadi lebih demokratis, sehingga SII tak hanya merepresentasikan isi kepala orang-orang di DPP, maupun wilayah tertentu. Ini terkait dengan keberanian menelisik lalu mengakui kekeliruan serta kekurangan dalam langkah dan pilihan taktik dan strategi gerakan, kemudian memperbaikinya.
Dalam konteks ini, SII mendidik kader-kadernya untuk berani senantiasa melakukan kritik self kritik dalam proses yang dinamis sehingga dialektika antar kader, antar wilayah, dan antar struktur dapat berlangsung secara setara. Ini juga bermakna bahwa kader-kader akan menarik pelajaran dari kekeliruan yang serta pandai meluruskannya secara tepat waktu.
Ketiga, SII bisa mendorong dan menginisiasi lahirnya rumusan narasi otentik organisasi yang baru, dan berakar pada pemikiran kader dan pegiat awal organisasi, pemikiran kader-kader zaman kiwari, serta mempertimbangkan lanskap historis dan/atau konteks sosial politik yang dihadapi saat ini. Pada gilirannya, narasi otentik baru ini bisa menjadi standar dalam penguatan disiplin organisasi, serta untuk mewujudkan kesatuan ideologi dan kesatuan gerak sumber daya kader dan organisasi.
Beranikah kita? Semoga!
Fattaqulooha mastatho'thum. Billaahi fii sabiilil Haq
Tulisan ini dipersembahkan oleh Muhammad Kasman, Ketua Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan 2023 - 2027.
+ Comments + 2 Comments
Pemikiran yang berani, PSII harus dibuka hijabnya. Sampaikan terus gagasan-gagasan brilian kekinian untuk menopang keberlanjutan perjuangan ideologis ini agar dapat sampai pada apa yang dicita-citakan.
Tjokroisme didedikasikan untuk menjadi ruang berbagi keresahan dan ide-ide demi kemajuan dan gerak laju organisasi Syarikat Islam Indonesia.
Ditunggu tulisannya Pak Iwan, bisa dikirim ke redaksi@tjokroisme.net
Posting Komentar