Ruang Narasi
SINDIKASI TJOKRO CORNER
Tjokroisme: Monoteisme Dialektika Historis
Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator - H.O.S. Tjokroaminoto

Forgetting and Forgiveness Nation’s: Era Indonesia Gelap (2025-….?)


TJOKROCORNER, OPINI -
Bangsa Indonesia baru berusia belum satu abad (97 th, 1928-2025) namun karakter warisan feodalisme era Mataram Islam dan Kolonialisme Hindia Belanda demikian membatu terutama pada elit pimpinan, birokrasinya, hingga merasuki rakyat jelata. 

Sejak zaman kerajaan, pola yang sama terus berulang: konflik muncul, perlawanan terjadi, tetapi akhirnya selalu ada kompromi.

Pada masa Sriwijaya dan Majapahit, kerajaan kecil yang memberontak jarang dihancurkan secara total. Sebaliknya, kerajaan yang menang seringkali memilih jalur diplomasi, misalnya, dengan menikahkan anak raja sebagai bentuk rekonsiliasi. Pada akhirnya, konflik itu terhenti, tetapi tidak benar-benar selesai.

Budaya feodal ini menciptakan pola pikir bahwa rakyat sebaiknya menerima saja keadaannya daripada melawan sesuatu yang tidak bisa mereka ubah (Hofstede, 1980).

Hanya beberapa pribumi muslim yang sadar dan melakukan transformasi diri dengan menjalankan prinsip iman-hijrah-jihad dalam perjuangnya.

Sejak Pangeran Diponegoro (1825-1830) dengan Perang Jawa; Perang Aceh (1873–1904); perlawanan politik K.H. Samanhoedi-HOS Tjokroaminoto (1905-1934); dan berakhir dengan perlawanan Tgk. Daud Bereuh – S.M. Kartosuwirjo – Kahar Muzzakar (1949-1962).

Ini adalah jalur sanad Islam bernegara yang menghendaki Syariat Islam menjadi UUD dalam mengatur pemerintahan dan mengelola sumber daya alam.  

Sementara itu, revolusi nasional ala nations state-nya triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir sebagai anak kandung Humanisme Barat, Proklamasi ’45 silih berganti: Orde Lama ke Orde Baru, hingga Orde reformasi dan berujung pada era Kegelapan Indonesia saat ini. Penjajah-nya silih berganti, namun sistem penjajahannya tetap berlangsung hingga saat ini!  

Inilah pola yang terus berulang. Setiap kali ada ketidakadilan, sebagian kecil yang dipimpin elit pemberontak dari masyarakat, bereaksi.

Namun, begitu ada sedikit perubahan -baik itu janji, pencitraan pemimpin baru, atau sekadar waktu berlalu- kita kembali seperti biasa. Bukan karena kita tidak peduli, melainkan karena kita terbiasa menerima keadaan tanpa bertanya lebih jauh.

Mengapa kita terus seperti ini? Ternyata ini persoalan tentang bagaimana otak bekerja. Psikolog menyebut fenomena ini sebagai adaptive forgetting (Anderson & Hulbert, 2021). 

Ketika seseorang menghadapi sesuatu yang terlalu menyakitkan atau bersantai mental, otaknya secara otomatis berusaha melupakannya. Ini adalah mekanisme pertahanan diri agar kita tidak terus-menerus hidup dalam trauma. 

Bayangkan jika setiap orang di negeri ini mengingat semua ketidakadilan yang terjadi tanpa pernah melupakannya, itu akan menjadi beban mental yang sangat berat.

Jadi, tanpa sadar kita memilih untuk mengalihkan perhatian, mencari hiburan lain, atau meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Ada juga yang disebut learned helplessness (Seligman, 1975). Ini terjadi ketika seseorang merasa bahwa tidak peduli sekeras apa pun mereka berusaha, tidak akan ada perubahan. Akibatnya, mereka memilih untuk pasrah. 

Setelah melihat berkali-kali bahwa korupsi tetap ada, pelanggar hukum tetap bebas, dan janji perubahan sering kali kosong, banyak orang akhirnya merasa bahwa usaha mereka tidak ada gunanya.

Ditambah dengan faktor cognitive dissonance (Festinger, 1957), di mana otak kita merasa tidak nyaman dengan kenyataan yang bertentangan dengan harapan kita. 

Jadi, daripada menghadapi kenyataan pahit bahwa keadilan sering tidak dapat ditegakkan, kita memilih untuk meyakinkan diri bahwa lebih baik move on dan fokus pada kehidupan masing-masing.

Dan yang paling nyata ialah kelelahan empati atau compassion fatigue (Figley, 1995). Kita sudah terlalu sering melihat ketidakadilan yang terjadi. 

Kita marah, kita protes, tetapi ketika hal itu terus terjadi berulang-ulang tanpa ada perubahan yang nyata, kita mulai kehilangan energi untuk peduli.

Ramadhan 5, 1446 H - Madrasah Al I'anah - Muhammad Nuh

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari serangkaian tulisan yang ditorehkan oleh Nunu A Hamijaya, seorang sejarawan masa depan.

  


Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Syarikat Islam Indonesia | Pemuda Muslimin Indonesia | KasmanPost
Copyright © 2025 - TJOKRO CORNER - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger