TJOKROCORNER, ESAI - 30 Juni 1947, Kabinet Amir Syarifudin terbentuk dengan anggota pimpinan: Sukiman (Masyumi), AK Gani (PNI), dan Setiadjit (PKI). Pada tanggal 3 Juli 1947, Amir menyatakan kembalinya PSII dalam kabinet nasional, dengan pimpinan: Aruji Kartawinata, Wondoamiseno, Sjahbudin Latif, dan Sukoso Wirjosaputro.
Sementara, S.M. Kartosuwirjo sebagai elit Masyumi Priangan yang diminta duduk dalam Kabinet Amir sebagai Wakil Menteri Pertahanan menolaknya dan lebih memilih memimpin pasukannya sendiri di Priangan Timur. Ia sudah memiliki rencana politiknya sendiri.
Kehadiran kembali PSII menimbulkan friksi dengan Masjoemi. Namun, hal ini dapat dicegah sebab kekuatan politik PKI menjadi faktor musuh bersama pemersatu berdasarkan politik Islam yang menolak komunisme dalam kabinet.
Akibat ditandatanganinya Perjanjian Renville, pada 14 Agustus 1947, SM Kartosuwirjo menyatakan penolakannya dengan menyatakan jihad melawan Belanda yang berlanjut dengan membentuk Majelis Islam hasil Konferensi Tjisajong (11 Februari 1948).
Namun, setelah Kabinet Amir jatuh karena dinilai merugikan dengan diterimanya Renville, maka kekuasaan beralih kepada Kabinet Hatta (48-49). Tokoh-tokoh Masjoemi menguasai politik, sementara PSII tersingkirkan.
Kiprah politik Masjoemi dalam pemerintahan RI Yogyakarta dinilai memalukan oleh pihak SM Kartosowirjo, terlebih setelah adanya Perjanjian Roem – Rojeen yang memuluskan adanya rencana Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Maka, sebelum berlangsungnya konferensi tersebut, SM Kartosuwirjo memproklamasikan sebuah entitas negara, yaitu Negara Islam Indonesia, pada 7 Agustus 1949, di dalam wilayah yang merdeka (status quo) bukan termasuk wilayah Belanda dan Negara RI Yogyakarta, yang pada dasarnya sudah tamat riwayatnya sejak berdirinya PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang tidak diakui Soekarno-Hatta dan Belanda sendiri.
Masjoemi memiliki sikap politik memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam bangunan Negara RIS hasil KMB, hingga berubah namanya menjadi NKRI (17/8/1950) melalui jalur parlementer (Dewan Konstituante, Pasca Pemilu 1955) hingga dibubarkannya pada 1960.
Sementara itu, PSII Abikusno-Wondoamiseno aktif dalam parlemen RI dengan mengikuti Pemilu 1955 hingga terakhir Pemilu 1999.
Ramadhan ke-16, 16 Maret 1446 H
Tulisan ini ditorehkan oleh Nunu A. Hamidjaya, seorang sejarawan masa depan.
Posting Komentar