TJOKROCORNER, OPINI - Di warung kopi pinggir jalan, di sela obrolan santai dan asap rokok yang melayang-layang, seorang pemuda menatap kosong ke layar ponselnya. Berita-berita yang berseliweran hanya menambah beban pikirannya.
Korupsi yang tak ada habisnya, hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, para elite yang lebih sibuk mengamankan kepentingan sendiri ketimbang memikirkan nasib rakyat. Indonesia terasa seperti rumah yang kehilangan arah.
"Negara ini makin kacau," gumamnya pelan. Teman di sebelahnya, yang sedang mengaduk kopi, menoleh.
"Kenapa? Kau baru sadar?" Tanyanya sambil tertawa kecil.
Pemuda itu menggeleng, tapi matanya tetap serius. "Aku pikir, kita seharusnya punya jalan keluar. Harus ada gagasan besar yang bisa menyelamatkan negeri ini."
Temannya mengangguk pelan. "Kalau bicara soal gagasan besar, kita sebenarnya punya warisan pemikiran yang luar biasa. Tapi kita terlalu sibuk meniru yang lain, lupa dengan akar sendiri."
Pemuda itu menatap temannya, penasaran. "Maksudmu?"
"Masih ingat Tjokroisme?"
Tjokroisme: Gagasan yang Dilupakan
Nama Haji Samanhudi atau H.O.S. Tjokroaminoto mungkin masih ada dalam buku sejarah sekolah, tapi maknanya sering hanya sebatas hafalan. Padahal, lebih dari seabad yang lalu, Tjokroaminoto bukan sekadar seorang pemimpin Sarekat Islam—ia adalah bapak pemikiran yang melahirkan banyak tokoh besar, dari Soekarno, Semaoen, hingga Tan Malaka.
Pemuda itu mulai tertarik. "Tjokroisme itu apa sebenarnya?"
Temannya tersenyum. "Singkatnya, ini tentang Islam yang membumi, ekonomi yang mandiri, dan politik yang berkeadilan. Tjokroaminoto ingin membangun bangsa yang berdaulat, di mana rakyat kecil tidak hanya jadi alat bagi kaum elit, tapi bisa berdiri di atas kaki sendiri."
Pemuda itu mengangguk pelan. "Jadi, kita tidak perlu impor ide dari luar? Kita sudah punya pondasi sendiri?"
"Benar. Tapi masalahnya, gagasan ini tenggelam. Kita terjebak antara kapitalisme yang makin buas dan sosialisme yang kerap dianggap asing. Sementara itu, politik kita sibuk bertengkar demi kekuasaan, bukan demi rakyat."
Membangun Ulang Indonesia
Pembicaraan mereka makin dalam. Mereka membahas bagaimana Tjokroisme bisa menjadi solusi, bukan sekadar romantisme masa lalu.
"Kalau kita serius, kita harus mulai dari ekonomi. Lihat saja bagaimana kapitalisme liar membuat orang kaya makin kaya, sementara yang miskin semakin terjepit. Padahal, Islam mengajarkan ekonomi yang adil, ada zakat, ada koperasi, ada distribusi kekayaan yang sehat," kata temannya.
Pemuda itu menambahkan, "Dan jangan lupakan politik. Kita harus kembali ke politik yang berlandaskan moral dan nilai. Bukan politik transaksional yang hanya sibuk jual beli suara."
Di meja itu, dua anak muda kembali meneguhkan keyakinan mereka. Mereka sadar bahwa perubahan tidak datang dalam semalam. Tapi selama ada gagasan, selama ada perjuangan, selama ada warung kopi tempat mereka bisa berdiskusi dan berencana, harapan masih ada.
Indonesia belum hilang. Ia hanya sedang mencari jalan pulang. Dan mungkin, Tjokroisme adalah peta yang kita butuhkan.
Tulisan ini ditorehkan oleh Ardinal Bandaro Putiah, Ketua III PB Pemuda Muslimin Indonesia
Posting Komentar