Ruang Narasi
SINDIKASI TJOKRO CORNER
Tjokroisme: Monoteisme Dialektika Historis
Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator - H.O.S. Tjokroaminoto

Thorikoh Syukur: Nutrisi Terbaik Untuk Jihad Fi Sabilillah


TJOKROCORNER, ESAI -
Ada yang salah kaprah, dalam melihat wujud amalan thorikoh sebagai tujuan, padahal itu hanyalah salah-satu bentuk ritual, yang merupakan gunung es dari sebuah kesadaran ruhaniyyah yang hendak diaktivasi melalui jalan thorikoh

Sebagaimana, HOS Tjokroaminoto mengamalkan tarikat Tijaniyah dari KH Ustman Dhomiri (Cimahi); dan S.M. Kartosuwirjo dari Syaikhuna Iming Badruzaman, kakak Syaikhuna Badruzzaman. Yang diikuti oleh banyak anggota lasjkar Sabilillah-Hizbulloh yang melebur menjadi lasjkar TII (1949-1962). 

Praktek thorikoh adalah jalan untuk menyadarkan pada tujuan tertinggi dari hidup manusia, yaitu sebagai abdillah dan khalifah fil ardhi

Jalan pengabdian kepada Allah SWT direfleksikan secara duniawi lewat peran kekhilafahan manusia-Adam, yang menerjemahkan status Allah, di hadapan manusia, yaitu Robb, Malik dan Ilah dengan perwujudan syahadat kerasulan Muhammad SAW, yaitu Negara Islam Madinah al Munawaroh yang disempurnakan secara distingtif oleh Khilafah Umar bin Khattab. 

Peran politik kekhilafahan fil ardhi itulah yang menjadikan amalan thoriqoh menjadi simpul pertemuannya dengan tugas manusia sebagai hamba Allah. 

Dengan demikian, politik bernegara dalam perspektif thorikoh adalah menggabungkan dua peran sebagai dua sisi mata uang, yaitu abdillah wal khilafah fil ardhi.

Syekh Ahmad al-Tijani menegaskan, “Apabila kamu mendengar apa saja dariku, maka timbanglah ia dengan neraca (mizan) syari’at. Apabila ia cocok, kerjakanlah dan apabila menyalahinya, maka tinggalkanlah”.

Menurut Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah “Patuh mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun batin, sesuai dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”.

Dalam mengomentari landasan tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani, Muhammad al-Hapidz dalam Ahzab Wa Awrad, mengatakan, “Landasan pokok Thariqat Tijaniyah yang menjadi asas penopangnya adalah menjaga syari’at yang mulia, baik ilmiyah maupun alamiyah”

Sedangkan K.H. Badruzzaman, mengatakan bahwa landasan pokok Thariqat tijaniyah adalah memelihara syari’at yang mulia baik yang berhubungan dengan amaliah kalbu seperti khusyu (khusyuk), ikhlas (ikhlas) dan tawadha (rendah hati).

Syaikhuna KH. Badruzzaman, ia menegaskan, bahwa dalam melihat dan memahami fatwa-fatwa Syekh Ahmad al-Tijani, senantiasa harus melihatnya melalui petunjuk al-Qur’an dan sunnah secara menyeluruh dan mendalam, lahiriyah dan batiniyah.

Sebagai penutup, Syekh al-Tijani menegaskan bahwa patokan utama pengembangan ajarannya adalah al-Qur’an dan sunnah. 

Lebih tegas ia menyatakan, “Kami hanya mempunyai satu pedoman (kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan (ushul), bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah swt., dan sabda Rasul-Nya”

Syukur: Thariqat Tijaniyah

Thariqat Tijaniah merupakan thariqat yang menekankan syukur sebagai jalan menuju kepada Allah. Syukur menjadi pijakan pokok dan prinsip utama Thariqat Tijaniyah. 

Oleh karenanya nama lain Thariqat Tijaniyah adalah Thariqat Syukur (At-Thariqat Asy-Syukr)

Syeikh Ahmad At-Tijani berkata, “Syukur adalah pintu terbesar Alloh dan jalan-Nya yang terlurus. Karena itu, setan selalu duduk di jalurnya, merintangi orang-orang mukmin melewatinya.”

Masih dalam kitab yang sama, beliau menyatakan pokok pikirannya bahwa, “Pintu paling dekat menuju kepada Allah adalah pintu syukur. Siapa yang pada masa ini tidak masuk melalui pintu syukur, dia tidak akan dapat masuk. Karena jiwa manusia saat ini telah mengeras.”

Pokok pikiran utama ini diteruskan oleh murid terdekatnya, Sayid Ali Harazim bin Arabi yang berkata “Seluruh manusia tenggelam dalam lautan nikmat. Sungguh mereka tidak bersyukur.”

Pokok pikiran ini merupakan inti dari Firman Alloh SWT, “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. As-Saba’: 13).

Ayat-ayat yang menerangkan tentang nikmat dan syukur ini banyak ditemukan dalam Kitabullah (al Qur’an).

Sayid Arabi ban Sa-ih berkata “Tujuan tarbiyah dalam Thariqat ini (Tijaniyah) adalah untuk mengencangkan nafsu dan mempereratnya. Tanpa terus menyepi (khalwat) dan tanpa menghindar dari manusia atau masyarakat dan lain sebagainya. 

Tarbiyah seperti ini mengingatkan bahwa thariqat ini sejalan dengan cara-cara yang telah ditempuh orang-orang shalih generasi pertama. 

Yang mana cara-cara ini merupakan thariqat (metode) yang masih asli. Yaitu thariqat yang mengembangkan syukur (thariqah asy-syukr) dan bahagia dengan Allah SWT sebagai Pemberi nikmat (Al-Mun’im) serta melakukan pelatihan hati (riyadhah qalbiyah).

Thariqat Tijani mengajarkan tentang syukur dan bahagia dengan Sang Pemberi Nikmat (Al-Mun’im) tanpa memperberat dan membebani diri. 

Bukan berfokus pada atas pelatihan-pelatihan (riyadhah), memperberat dan mempersulit diri, berjaga sepanjang malam (sahar) dan puasa sepanjang tahun (ju’). Yaitu metode ibadah dengan memurnikan penghambaan (ubudiyah) dan melepaskan semua pamrih. 

Secara bersamaan juga mengakui adanya kelemahan dan keteledoran serta ketidakmampuan dalam memenuhi hak ketuhanan (rububiyah). 

Semua itu dilakukan dalam rangka memperoleh ketenangan hati dalam semua kondisi perjalanan waktu dan zaman. Setelah Allah mengetahui kejujuran mereka dalam melakukan semua itu, maka Allah akan memberikan kepada mereka sesuatu yang pantas sebagai anugerah. 

Karena Allah mempunyai sifat dermawan (Karim). Pemberian itu berupa terbukanya tirai makrifat (fatah) dan pemahaman rahasia-rahasia iman kepada Alloh SWT.

Hijrah yang ditempuh thariqat corak pertama adalah hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan kepada hasilnya seperti terbukanya tirai makrifat (fatah) atau tirai ghaib (kasyaf)

Perjalanan thariqat pertama adalah hati. Sedangkan perjalanan thariqat kedua adalah badan. Fatah yang diperoleh dalam thariqat pertama adalah pemberian yang tidak dihasilkan oleh hamba yang meliriknya. 

Riyadhah dalam thariqat corak pertama adalah hati yang senantiasa terkait dengan Allah, berdiri di depan pintu-Nya dan mengungsi kepada-Nya dalam gerak dan diamnya. Meskipun secara lahinya tidak terlebih memperbesar ibadah. 

Karenanya para penempuhnya tetap melakukan puasa dan berbuka, salat di sebagian malam dan tidur di sebagian lainnya, mendekati istri-istrinya, menunaikan semua aktivitas (wadhifah) syari’at. Adapun pelatihan-pelatihan (riyadhah) dalam thariqat kedua adalah kebalikannya.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata “Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia telah mengeras. Sehingga tidak dapat dikendalikan hanya dengan perhitungan amal (muhasabah) atau perdebatan akal (munaqasyah). Juga tidak tersentuh oleh bekas-bekas pelatihan (riyadhah). Akan tetapi ketika perasaan bahagia dengan Sang Pemberi Nikmat (Al-Mun’im) telah menguasai dirinya, maka semua kekerasan jiwa itu akan sirna dan menyatukan keretakan-keretakannya.”

Tulisan ini disajikan oleh Nunu A Hamijaya, Penulis buku Tetralogi Islam Bernegara & Negara Ummat.

Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Syarikat Islam Indonesia | Pemuda Muslimin Indonesia | KasmanPost
Copyright © 2025 - TJOKRO CORNER - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger